Tolak Laporan PBB, Myanmar Bantah Melakukan Genosida terhadap Muslim Rohingya
beritaterkini99- Myanmar menolak temuan laporan tim pencari fakta PBB awal pekan ini, yang menuduh bahwa perwira tinggi dan panglima militer serta pemimpin pemerintahan sipil Myanmar melakukan genosida dan kejahatan kemanusiaan lain dalam penumpasan kelompok minoritas muslim Rohingya di negara bagian Rakhine tahun lalu.
Laporan itu, yang dikemukakan di Jenewa pada Senin 27 Agustus 2018 oleh Misi Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) di bawah naungan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB, merupakan hasil penyelidikan selama kurang-lebih satu tahun, dengan mewawancarai narasumber dan saksi, meriset, dan menganalisis berbagai data yang ditemukan.
Merespons hal tersebut, juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay pada Rabu 29 Agustus 2018 mengatakan kepada media pemerintah bahwa Naypyidaw “tidak sepakat dan tidak menerima resolusi apapun” yang disampaikan Dewan HAM PBB, demikian seperti dikutip dari BBC, Kamis (30/8/2018).
“Kami tidak mengizinkan TPF untuk masuk ke Myanmar, oleh karenanya, kami tidak setuju dan menerima resolusi apa pun yang dibuat oleh Dewan Hak Asasi Manusia,” Zaw Htay mengatakan kepada kantor berita Global New Light dari Myanmar.
Zaw Htay mengatakan, Myanmar memiliki Komisi Penyelidikan Independen sendiri untuk menanggapi “tuduhan palsu yang dibuat oleh badan-badan PBB dan komunitas internasional lainnya”.
Militer Myanmar diketahui belum memberikan komentar. Namun, sejak November 2017 lalu, Tatmadaw (nama resmi Angkatan Bersenjata Myanmar) menolak telah melakukan kesalahan apapun terkait krisis kemanusiaan Rohingya di Rakhine.
Dalam laporannya, TPF Myanmar menemukan bahwa Tatmadaw telah mengambil tindakan yang “tidak diragukan lagi merupakan kejahatan yang paling berat di bawah hukum internasional.”
Laporan itu juga menyebut bahwa panglima tertinggi militer Myanmar, Min Aung Hlaing, harus diselidiki dan didakwa atas dugaan mendalangi genosida dan kejahatan kemanusiaan terhadap muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara, serta mendalangi kejahatan perang di Negara Bagian Kachin dan Shan.
Pencarian fakta juga melampaui rentang waktu Agustus 2017, dan menemukan bahwa militer Myanmar terindikasi melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara luas sejak 2011. Laporan itu juga menambahkan bahwa lembaga keamanan Myanmar lainnya juga terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut.
“Atas alasan apapun, tidak akan pernah ada pembenaran bagi aksi militer yang melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu, beramai-ramai memperkosa perempuan, menyerang anak-anak, dan membakar seluruh desa,” kata laporan TPF Myanmar.
“Tatmadaw telah menggunakan taktik yang tidak konsisten dan tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya, terutama di Negara Bagian Rakhine, dan juga di Myanmar utara,” tambah laporan itu.
Misi pencarian fakta menyimpulkan bahwa ada “informasi yang cukup” untuk membuka penyelidikan genosida dan kejahatan perang terhadap jenderal-jenderal senior Myanmar.
Laporan TPF Myanmar juga menyebut bahwa pemerintah sipil, yang secara de facto dipimpin oleh pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, turut bertanggungjawab atas krisis kemanusiaan yang menimpa kelompok etnis dan agama minoritas, termasuk muslim Rohingya, di Myanmar.
Pemerintah sipil, kata laporan itu, “telah gagal untuk menyuarakan penentangan atas peristiwa yang terjadi, menyebarkan ‘narasi palsu’, mengawasi penghancuran bukti di negara bagian Rakhine dan menghalangi penyelidikan independen.”
“Melalui tindakan dan kelalaian mereka, pihak pemerintah sipil telah berkontribusi terhadap kejahatan keji tersebut,” tambah laporan TPF Myanmar.
“Aung San Suu Kyi tidak menggunakan posisi de facto-nya sebagai kepala pemerintahan, dan tak juga menggunakan moralitasnya, untuk membendung atau mencegah peristiwa yang terjadi di Rakhine.”
“Pemerintah dan Tatmadaw telah mengembangkan iklim di mana pidato kebencian tumbuh subur, pelanggaran hak asasi manusia dilegitimasikan, serta hasutan untuk diskriminasi dan kekerasan justru difasilitasi.”
Laporan AS: Militer Myanmar Bersalah
Dalam penyelidikan terpisah, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan telah mengumpulkan informasi dari pengungsi muslim Rohingya yang memperkuat tuduhan bahwa militer Myanmar dan pasukan keamanan telah melakukan pelanggaran HAM yang mengerikan, termasuk pemerkosaan.
AS mengatakan temuannya itu didasarkan pada lebih dari seribu wawancara dengan para pengungsi di kamp-kamp di Bangladesh –di mana para muslim Rohingya dari Myanmar melarikan diri lebih dari satu tahun lalu.
Duta Besar Amerika Nikki Haley hari Selasa 28 Agustus mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa dunia menyaksikan bagaimana Myanmar menanggapi situasi itu.
“Di Dewan Keamanan PBB, kita harus meminta pertanggungjawaban mereka yang melakukan kekerasan,” tegas Haley, seperti dikutip dari VOA Indonesia.
Awal bulan ini pemerintahan Presiden Donald Trump telah memberlakukan sanksi-sanksi terhadap lima komandan militer Myanmar dan dua unit tentara karena keterlibatan mereka dalam berbagai aksi keji, termasuk pembakaran desa-desa.
Panel itu mendesak Dewan Keamanan PBB untuk merujuk situasi itu ke Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag. Tetapi dua negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB –-Rusia dan China– tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Sementara itu pengungsi Muslim-Rohingya kini tinggal dalam kondisi sangat menyedihkan di kamp pengungsi terbesar di dunia di Bangladesh. PBB mengatakan kondisi di Myanmar belum memungkinkan mereka kembali ke rumah secara aman, sukarela dan bermartabat.