Perusahaan Batubara PKP2B Belum Ada yang Berubah Status Jadi IUPK
beritaterkini99- Belum ada perusahaan batubara Pemegang Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang mengubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Diretur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot mengatakan, saat ini belum ada perusahaan batubara pemegang PKP2B yang mengajukan perpanjangan masa operasi, dengan memenuhi syarat mengubah status menjadi IUPK.
“Belum diperpanjang, belum dicabut, belum ada yang ngajuin,” kata Bambang, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (15/10/2018).
Perusahaan batubara pemegang PKP2B yang memperpanjang masa operasi harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu mengubah status menjadi IUPK, harus memenuhi kewajiban keuangan, dan melakukan penciutan lahan.
“Seperti Freeport. Kewajiban keuangan, kewajiban smelter. Gitu,” tutur dia.
Menurut Bambang, saat ini ada tujuh perusahaan batubara pemegang PKP2B generasi I yang masing-masing masa kontraknya akan habis pada kisaran 2022, 2025 dan 2026. Pengajuan perpanjangan operasi paling cepat dilakukan 5 tahun sebelum kontrak habis.
”Adaro, Berau. Itu kan generasi satu semua. tapi kan beda-beda, kan ada yang 2026, 2022. Lima tahun. sebelum dia expired. Ya tergantung, kalau 2026 kan masih nanti,” dia menandaskan.
Harga Batu Bara Turun Berimbas terhadap Penerimaan Negara
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Ditjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Sri Raharjo, menyebut penurunan Harga Batu bara Acuan (HBA) akan berpengaruh terhadap penerimaan negara.
Bahkan, penurunan ini pun ia mengakui memang sudah terlihat sejak tiga bulan terakhir. Sejak Agustus 2018 misalnya, HBA berada di level USD 107,83 per ton.
“Dan sekarang hanya USD 100 per ton. Jadi itu menyebabkan ada potensi Oktober ini akan menurun pendapatan dari royaliti (batubara),” kata Hendra dalam acara Diskusi Kebijakan Publik Strategi Pengelolaan Batubara Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (4/10/2018).
Diketahui, saat ini harga batu bara acuan pada Oktober 2018 sebesar USD 100,89 per ton, atau turun 3,7 persen dibandingkan HBA September yang berada di level USD 104,81 per ton.
Sri Raharjo mengatakan, meski menurun, tapi secara keseluruhan sepanjang 2018 penurunan ini masih cukup menarik. Sebab, apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya penurunan tehadap HBA menyentuh hingga ke level USD 40 per ton.