Cinta Saja Tak Cukup untuk Merawat Pernikahan
Beritaterkini99- Menikah adalah sebuah jenjang dalam hubungan yang paling tinggi. Pernikahan tidak bisa sembarang dilakukan, karena membutuhkan komitmen dan berbagai persiapan baik dari mental, fisik, hingga materi. Cinta bisa membuat dua insan bersatu, tetapi dua orang tersebut tetap individu yang memiliki perbedaan.
Perbedaan tersebut dapat memicu konflik dalam pernikahan. Apabila pasangan tidak mengetahui cara untuk menyelesaikan masalah dengan benar dan sehat, konflik tersebut bisa mengarahkan hubungan ke perceraian. Karenanya, setiap pasangan yang akan menikah harus membekali diri tentang pengetahuan akan sebuah pernikahan.
Namun, tren bercerai di Indonesia tampaknya semakin lama semakin meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase perceraian mencapai 20 persen dari seluruh pernikahan yang didaftarkan pada 2016.
Sementara itu, penelitian oleh American Psychological Association menunjukkan bahwa 50 persen pasangan di Amerika bercerai. Bahkan, dalam pasangan yang masih bertahan, banyak di antaranya yang merasa tidak bahagia dengan pernikahannya.
Melihat fenomena yang ada, Personal Growth dan Kinokuniya Books menyelenggarakan diskusi buku dari Gary Chapman yang berjudul “Things I Wish I’d Known Before We Got Married”. Acara bertajuk “Before I say I Do” ini diselenggarakan di Kinokuniya, SOGO Lantai 5, Plaza Senayan, Jakarta Pusat pada Sabtu, 14 September 2019.
Permasalahan mengenai komunikasi dan adaptasi adalah hal utama yang dibahas. Guna mencapai pernikahan yang baik, perencanaan akan apa yang mau dicapai setelah menikah harus dilakukan. Hal ini gunanya mencegah terjadinya culture shock.
“Mau punya anak berapa, ngurusnya gimana, harus diomongin sama pasangan sebelum menikah,” kata Ratih Ibrahim, psikolog sekaligus pembicara pada seminar dan CEO Personal Growth.
Berdasarkan survei yang dilakukan tim Personal Growth, hal yang paling nyaman dibicarakan adalah tentang agama, sedangkan hal yang paling tidak nyaman dibicarakan adalah seks. Padahal, seks merupakan salah satu komponen utama dalam mempertahankan pernikahan.
“Kita sih dulu gak ngomongin, mungkin karena masih anggap tabu. Tapi, setelah menikah kita sadar bahwa ngomongin itu penting ya,” kata Ankatama Ruyatna, narasumber dari diskusi Before I say I Do dan content creator #ObrolanBabibu.
Hal yang kerap menjadi kesalahan sebelum melakukan pernikahan juga minimnya kesiapan mental, fisik, dan sosial. Banyak anak muda berpikir bahwa hanya dengan rasa cinta, semua hubungan, terutama pernikahan, akan berjalan mulus. Menurut Ratih, cinta menang menjadi pondasi dasar dari sebuah pernikahan. Tapi, cinta adalah sebuah emosi, dan untuk mempertahankan emosi tersebut dibutuhkan effort lebih.
Usaha yang dapat dilakukan tentunya dengan persiapan faktor-faktor eksternal dan mau untuk saling menyesuaikan. Penyesuaian bisa dilakukan dengan cara mengetahui bahasa cinta pasangan. Menurut buku Gary Chapman, ada lima bahasa cinta, yakni sentuhan fisik, pelayanan, quality time, kata-kata perhatian, dan hadiah.
Ratih mencontohkan beberapa pasien yang konsultasi padanya kerap mengalami masalah ini. Salah satu pihak ada yang mengatakan bahwa pasangannya tidak memberikan waktu perhatian kepadanya, namun pasangannya menyatakan bahwa dia telah memberikan pelayanan yang dia bisa. Perbedaan kebutuhan bahasa cinta tersebut juga yang akhirnya kerap menjadi batu sandungan bagi pasangan.
Bukan Menikahi Satu Orang, tapi Satu Keluarga
Hal yang juga sering tidak dipikirkan oleh pasangan yang akan menikah adalah mereka tidak hanya menikahi satu orang, tetapi keluarganya juga. “Mau bagaimana pun kan seorang putra atau putri adalah produk dari sebuah keluarga. Jadi, jika Anda menikah dengannya, Anda juga menikahi keluarganya,” tutur Ratih lagi.
Dalam buku yang dibahas, dikatakan bahwa cara untuk menjalin hubungan yang baik dengan keluarga adalah dengan mendengarkan terlebih dahulu. Anda harus menumbuhkan rasa empati pada keluarga pasangan, setelah itu baru bisa mendapat rasa hormat dari mereka. Setelah kedua proses tersebut sudah dilewati, masuk ke tahapan negosiasi jika ada hal-hal yang kurang sesuai.
“Ini terutama untuk wanita ya, jangan membuat ibu mertua itu sebagai kompetitor. Kalau saya, ibu mertua senang dipuji, maka saya akan memuji masakannya,” ujar Ratih.
Pasangan Esha Mahendra dan Ankatama Ruyatna juga pernah mengalami perbedaan budaya antara dua keluarga. Hal sederhananya karena masalah perihal jenis makanan di sarapan, Esha menyukai makanan khas Indonesia, sedangkan Ankatama yang sedari kecil sarapannya adalah roti. Saat berkumpul bersama keluarga, mereka saling menyesuaikan kebutuhan tersebut.
Mereka mengatakan bahwa saling beradaptasi adalah hal yang penting, tidak hanya adaptasi dengan perilaku pasangan, tapi keluarga juga. Lebih baik, tidak ada yang terlalu banyak mengalah atau berusaha mengejar, tetapi bersama-sama selalu menemukan titik tengah.