Menurut Guardiola, Pelatih Sebenarnya Sering Mengandalkan Perasaan
beritaterkini99– Pep Guardiola layak dianggap sebagai salah satu pelatih terbaik di dunia. Dia memulai kariernya bersama Barcelona, lalu menjajal Bayern Munchen, dan kini bersama Man City. Di ketiganya, Guardiola sukses meraih gelar juara.
Metode kerja Guardiola memang sering mendapat pujian. Dia adalah sosok pelatih yang selalu bekerja keras dan menuntut pemainnya memberikan lebih dari 100 persen kemampuannya.
Guardiola juga selalu mendapat pujian dari setiap pemain yang pernah merasakan sentuhan tangannya. Mereka yang pernah dilatih Guardiola bersaksi bahwa sosok berusia 47 tahun itu telah membuka pandangan mereka terhadap sepak bola yang sesungguhnya.
Meski demikian, uniknya Guardiola ternyata juga mengandalkan perasaan saat melatih, bukan hanya otak dan statistik. Baca pengakuan Pep selengkapnya di bawah ini:
Kemanusiaan
Menurut Guardiola, sepak bola adalah salah satu wadah terbaik bagi perkembangan kemanusiaan. Sepak bola selalu menuntut pelatih dan pemain yang terlibat di dalamnya untuk mencari cara-cara baru, untuk berkembang dan menunjukkan kreativitas mereka.
“Kemanusiaan bisa berkembang karena banyak orang yang tak bisa menerima realitas dan berusaha menemukan hal-hal baru,” kata Guardiola kepada express.
“Jika anda tak mencoba kreatif maka jangan tanya kami kenapa kami melakukannya, kenapa tidak sebaliknya, sebab jika demikian maka kemanusiaan sudah berakhir. Orang-orang seperti ini [kreatif] diperlukan untuk membuat kemanusiaan jadi lebih baik.”
Perasaan
Hal yang sama terjadi pada sepak bola. Sepak bola selalu menuntut kreativitas. Misalnya, taktik yang berfungsi dengan baik satu dekade silam mungkin tak akan lagi berguna saat ini.
“Sepak bola itu indah karena apa yang bekerja dengan baik hari ini mungkin besok sudah tak lagi bisa. Terkadang anda mengatakan sesuatu dengan baik dan anda berkata ‘oke, kami akan meneruskannya sampai kondisi mulai memburuk’.”
“Ketika anda melihat sinyal-sinyal itu, anda merasakannya, anda harus melakukan sesuatu yang berbeda,” sambung dia.
“Semua pelatih, kami membuat banyak keputusan karena perasaan. Kami mendapat banyak informasi soal lawan dan menyimpannya di otak, tetapi kami harus mengandalkan perasaan itu.”